Sabtu, 04 September 2010

Aku dan Mela


Sore itu, seperti biasa kusempatkan menatap Mela sejenak. Kupandangi dari ujung rambut hingga kaki. cantik. Sepertinya ia memang telah mempersiapkan segala sesuatunya utk malam ini. Rambutnya sengaja diberi efek bergelombang, wajahnya diberi sapuan make up yg pas. Coba lihat gaunnya. Model empire yang anggun memeluk tubuh rampingnya. Seksi ! Kurang apalagi ? Tak habis pikir atas alasanpria-pria yang menolaknya dengan alasan murahan. Terlalu dibuat-buat. Cih !

Pernah suatu kali aku mendapatinya menangis. Mukanya merah memendan amarah bercampur malu, bahunya berguncang hebat. Kudekati, kuusap pundaknya sekedar memberikan ketenangan.
“Aku benci Andy ! Aku benci laki-laki sebelum dan setelahnya.. Aku benciiii !!” .Hanya kalimat itu yang terucap. Selanjutnya hanya tangis yang terdengar. Satu jam setelahnya, barulah dia bercerita. Katanya, Andy hanya memanfaatkan tubuh dan kecantikannya. Alasan yg sama yg pernah terlontar dari pria sebelumnya. Biadab kalian ! Wanita secantik, secerdas dan seanggun Mela tak pantas diperlakukan seperti itu. Dia layak mendapatkan lebih dari kalian, tunggu saja. Nafasku memburu mendengar ceritanya. Ada empati yg besar terhadapnya.

Kutatap lagi, kali ini dia menyadarinya. Senyumnya mengembang malu-malu ketika beradu pandang denganku. Ah, Mela.andaikan aku belum beristri, gumamku. Hah, apa-apain ini ? Nana, istriku tak kalah cantik. Dan ini bukan saatnya membandingkan. Aku hanya ingin menikmati pemandangan indah di depanku. Itu saja.

“Abang, sudah lama disitu ngliatin Mela ?” tanyanya manja. Pipinya merah, seperti bibirnya. Kujawab dengan anggukan kecil.
“Mau kemana, Mel ? Cantik banget..”
“Cuma makan malam kok, Bang”
“Sama pacar ?”
“.........”
Pertanyaan terakhir tak kau jawab. Hanya senyum getir yang kau tunjukkan.

Aku mengenal Mela sejak lama, ketika ia masih seorang gadis kecil. Dan setahuku, nyaris tak ada yang berubah darinya kecuali wajahnya yang semakin ayu. Tingkahnya masih malu-malu dengan mada suara yg lembut, terlebih jika berbicara denganku. Matanya melirik sekeliling sebelum menjawab pertanyaanku. Seperti takut kepergok orang lain. Seakan-akan obrolan kami tidak untuk diketahui orang lain. Entah kenapa. Tapi sekali lagi, itu tak jadi masalah buatku. Pernah suatu kali, ketika aku sedang menikmati CD Tiesto dari seorang kawan, kulihat dia juga ikut menikmatinya. Mula-mula hanya kepala, lalu tangan dan sejurus kemudian tubuhmu bergoyang mengikuti ritme yang dihasilkan dari round table itu. It was hot, Mel ! Kini, kalau kuputarkan lagu jazz apakah kau juga masih mau berdansa denganku ? Khayalanku mulai menjajah logika. Untung mulutku masih bersahabat dengan diam. Keadaan masih aman.

“Papaaaa.....................” Terdengar teriakan dari luar kamarku. Suara Egi, anakku membuyarkan khayalanku.
“Paa, ditunggyuin Mama di mobil tuh. Katanya mau makan malam di luar ? Ayo Paa, buruan..”

Kuhela nafas. Kurapikan bajuku, sekilas mataku kembali melirik cermin. Tersenyum pasrah pada Mela.

“Kita ketemu secepatnya, Mel..” lirihku.

0 komentar:

Posting Komentar

Follow Me