Senin, 06 September 2010

Cerita dari Kamar Kita


Hari pertama, 20:12

Selepas kerja, kudapati dia sedang bercermin. Wajah sumringahnya mendadak berubah begitu melihatku.
“Kau tampak lain, sayang. Ada apa ? sakit ?”
“Ah, hanya perasaan Mas, saja”
“Hmmm.. wangi parfummu lain. Baru ?”
“ehh...i-iya. Emm,Mas, aku buatkan kopi panas dulu ya ?”

**

Hari keduabelas, 23:51

“Kau tahu, Beb. Aku merasakan hal aneh dari dia. Mungkin kau tahu ?”
Kau hanya tersenyum. Diam seperti biasa.
“Wangi parfumnya beda. Seperti wangi parfum laki-laki, tapi bukan punyaku.”
Kau masih diam.
“Tolong dong, Beb. Bicaralah apa saja yang membuatku tenang. Kau tahu kan, aku sayang kamu. Posisimu tetap aman, kok.
Masih membisu.
“Sudahlah. Tampaknya kau lelah. Istirahat saja, ya. Nite, Beb..”
Kukecup keningmu, kau tersenyum.

**

Hari keduapuluhsatu, 10:01

“Mau kemana sepagi ini? Bukankah kita mau makan diluar siang nanti?”
“Maaf, aku lupa mengabari. Teman kuliahku baru datang dari Korea. Aku harus menjemputnya.”
“Lalu, janji kita?”
“Kita tunda. Oke?”
Kau pun melaju. Berlalu buru-buru.

**

Hari keduapuluhsatu, 13:14

“Beb, dia pergi keluar dengan teman kuliahnya. maukah kau menggantikannya untuk makan siang bersamaku?”
Matamu menatapku teduh. Kulihat anggukan kecil.
“Yahh..walaupun kau tak ingin makan, setidaknya kau bisa menemaniku mengobrol”
Kugenggam tanganmu. Senyummu ragu. dan aku kembali merasakan kejanggalan disini. darimu, juga dia.

**
Hari keempatpuluhsatu, 18:07

Rumah sepi. baiklah, ini saat yang tepat untuk melaksanakan rencanaku. Kuambil sebotol wine dingin, kuteguk barang sekali. ku perlusedikit rasa tenang. Kuhela nafas panjang sebelum meraih sendok di depanku. Perlahan, kucongkel mata kiriku. Sejurus kemudian, kutempelkan di pinggir ranjang. Aku hanya ingin tahu, yang selama ini berkhianat itu istri atau Teddy Bear-ku.

PLAKK!!


PLAKK!!

Sebuah pukulan benda keras menghentikan langkahku. Tubuhku roboh seketika. Cairan kental keluar dari perutku yang terkoyak. Kuraba bagian atas tubuhku. Kurasakan kepalaku bergesar beberapa senti dari tempatnya semula. Gelap, sedikit terang, gelap lagi. Apakah ini rasanya sekarat ?

***

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya kuhabiskan dengan berkeliling halaman depan rumahku. Saat seperti ini sangat tepat untuk memantau Sisil, gadis manis yang tinggal di kontrakan seberang jalan. Biasanya, selepas isya’ ia akan mencari udara segar di teras. Sekedar menghindari pengapnya suasana di dalam rumah atau alasan lain, yang pasti aku merasa terhibur dengan melihat pemandangan dari jarakku ini. Tapi malam ini ada yang berbeda. Seorang pria tampan datang menemaninya di ruang tamu. Ah..dia lagi, umpatku. Pria yang baru lima kali kulihat ini, akhir-akhir ini rajin berkunjung.

Perlahan, kudekati mereka. Bak seorang mata-mata, kuperlahan langkahku. Berusaha tak sedikitpun menimbulkan suara. Kuamati, tangan pria itu meremas jemari Sisil. Kurang ajar! Berani-beraninya dia mendahuluiku. Tangannya perlahan merambat naik, berhenti sejenak di tengkuk kemudian mulai membelai rambut Sisil. Mereka bertatapan, lalu saling merapat. Bibir pria itu maju lima senti mendekati bibir Sisil. Tuhan, beri aku kekuatan. Aku tak kuasa melihat adegan selanjutnya.

Dadaku naik-turun, nafasku memburu. Harus kucegah! Aku tak mau Sisil tersakiti. Pria itu pasti hanya menginginkan tubuhnya saja. Hey, tunggu! Kupercepat langkahku mendekati mereka.
“Sisil, jangan lakukan itu! teriakku sambil membentangkan tangan berusaha melindunginya.

Tiba-tiba...

“Kyaaaaaaaa.....cacinnggggggg!!!” Sisil berteriak histeris. Bukannya melepaskan, tangannya semakin erat memeluk pinggang si pria. Selayaknya pangeran yang ingin menjadi pahlawan di depan puterinya, dengan sekuat tenaga pria itu melemparkan sandal ke arahku.

PLAKK!!!

Minggu, 05 September 2010

pilihan


Angin malam mengusik rambutku. Mengacak-acak layer hingga sedikit menutupi mukaku. tatapanku menerawang jauh menembus bangunan di depanku. Kopi yang kuaduk telah dingin. Kepulannya menguap mubazir bersama menit yang berlalu. Aku masih terpaku disini, di balkon sebuah apartemen mewah. Seorang laki-laki dewasa tertidur pulas di ranjang, tak terusik oleh keberadaanku. Terlalu lelah mungkin. Dengarkan dengkurannya yang beradius 2 meter, itu tanda ia sangat kelelahan atas aktivitasnya seharian ini. Mungkin juga 2 jam terakhir. Kutatap lagi laki-laki itu, apakah aku mencintainya ? Pertanyaan besar untuk diriku sendiri. Jawabannya, aku pun masih perlu bantuan orang lain untuk menemukannya. Yang kutahu, sejak mengenalnya aku tak pernah mengerti apa itu cinta. Definisi paling sederhana pun tak mampu kujelaskan. Sungguh sebuah kata yang kini menjadi asing bagiku. Kuhela nafas, kuseruput kopi dingin di tanganku. Mataku beralih ke laptop di pangkuanku. Ada sesuatu yang mengusik perasaanku.
Surat elektronik itu kubaca ulang. Ada perasaan bersalah ketika kulumat lagi kata demi kata yang tertulis. Tapi sudahlah. Aku sudah memilih untuk begini, Gus. Demi keluargaku, adik-adikku. Maafkan aku. Setidaknya kau tahu sekarang.

***

From : Bagus Reynaldi
To : Martha “M” Savitri


Dear you,
Aku hubungi ponselmu, tak ada yang aktif. Maka kuputuskan utuk mengirimu email saja.

Aku selalu mencintaimu, Martha. tetap akan selalu mencintaimu wlaupun teman-temanku terus membodohiku. Mereka bilang ini-itu tentangmu. terakhir bilang, kau punya pacar lain. Laki-laki lain ynag lebih menjaminmu dari segi materi, bisa memberimu apapun yang kau minta. Membelikanmu mimpi yang bahkan kau belum pernah sekalipun memimpikannya. Dan-ini mungkin penting-ia tak cacat sepertiku. Itukah inginmu ? Sejak kapan, M ?

Aku mengenalmu cukup lama. Hampir dua setengah tahun kita bersama dan sejauh itu aku tak pernah melihatmu ‘gila harta’ atau ‘gila fisik’. Kau wanita sederhana. KIni semuanya seolah-olah serba materi dan kepuasan mata bagimu. Aku yang tak pernah tahu, atau kamu yang selama ini berpura-pura ?

Mungkin kau telah berubah, M. Atau keadaan yang membuatmu berubah. Bisa juga aku yang terlalu bodoh untuk tahu kalau materi ternyata memang telah manjadi bagian dari cinta. Juga fisik yang sempurna. Oh, stupid me ! Lebih menyedihkan lagi karena selalu ada kata maaf untukmu. Aku bahkan masih menerimamu dan berusaha tak mau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Selama ini aku selalu menganggap semua berita teman-temanku hanya omong kosong. Serangkaian becandaan mereka yang bukan untuk ditanggapi serius. Yah, setidaknya sebelum aku melihatnya sendiri. Kemarin lusa di La Piazza, aku melihatmu disana bersama laki-laki yang gambaran fisiknya mirip dengan dugaan beberapa temanku. M, benar kan itu kamu ?

Kalau benar pria itu bisa lebih membahagiakanmu, aku akan berusaha ikhlas. Tak perlulah kau menghindariku seperti ini. Cukup kita bicara, apa maumu. Selesai.

Sudahlah, M. Cinta dan idiot memang beda tipis. Tapi tak apalah. Akulah si idiot yang selalu ingin melihatmu bahagia, meski setiap jengkal kebahagiaanmu, berarti bertambah juga kadar idiotku.
***

Kuhela nafas. Air mata meleleh di pipi. Itukah yang disebut-sebut sebagai cinta ?

Sabtu, 04 September 2010

Aku dan Mela


Sore itu, seperti biasa kusempatkan menatap Mela sejenak. Kupandangi dari ujung rambut hingga kaki. cantik. Sepertinya ia memang telah mempersiapkan segala sesuatunya utk malam ini. Rambutnya sengaja diberi efek bergelombang, wajahnya diberi sapuan make up yg pas. Coba lihat gaunnya. Model empire yang anggun memeluk tubuh rampingnya. Seksi ! Kurang apalagi ? Tak habis pikir atas alasanpria-pria yang menolaknya dengan alasan murahan. Terlalu dibuat-buat. Cih !

Pernah suatu kali aku mendapatinya menangis. Mukanya merah memendan amarah bercampur malu, bahunya berguncang hebat. Kudekati, kuusap pundaknya sekedar memberikan ketenangan.
“Aku benci Andy ! Aku benci laki-laki sebelum dan setelahnya.. Aku benciiii !!” .Hanya kalimat itu yang terucap. Selanjutnya hanya tangis yang terdengar. Satu jam setelahnya, barulah dia bercerita. Katanya, Andy hanya memanfaatkan tubuh dan kecantikannya. Alasan yg sama yg pernah terlontar dari pria sebelumnya. Biadab kalian ! Wanita secantik, secerdas dan seanggun Mela tak pantas diperlakukan seperti itu. Dia layak mendapatkan lebih dari kalian, tunggu saja. Nafasku memburu mendengar ceritanya. Ada empati yg besar terhadapnya.

Kutatap lagi, kali ini dia menyadarinya. Senyumnya mengembang malu-malu ketika beradu pandang denganku. Ah, Mela.andaikan aku belum beristri, gumamku. Hah, apa-apain ini ? Nana, istriku tak kalah cantik. Dan ini bukan saatnya membandingkan. Aku hanya ingin menikmati pemandangan indah di depanku. Itu saja.

“Abang, sudah lama disitu ngliatin Mela ?” tanyanya manja. Pipinya merah, seperti bibirnya. Kujawab dengan anggukan kecil.
“Mau kemana, Mel ? Cantik banget..”
“Cuma makan malam kok, Bang”
“Sama pacar ?”
“.........”
Pertanyaan terakhir tak kau jawab. Hanya senyum getir yang kau tunjukkan.

Aku mengenal Mela sejak lama, ketika ia masih seorang gadis kecil. Dan setahuku, nyaris tak ada yang berubah darinya kecuali wajahnya yang semakin ayu. Tingkahnya masih malu-malu dengan mada suara yg lembut, terlebih jika berbicara denganku. Matanya melirik sekeliling sebelum menjawab pertanyaanku. Seperti takut kepergok orang lain. Seakan-akan obrolan kami tidak untuk diketahui orang lain. Entah kenapa. Tapi sekali lagi, itu tak jadi masalah buatku. Pernah suatu kali, ketika aku sedang menikmati CD Tiesto dari seorang kawan, kulihat dia juga ikut menikmatinya. Mula-mula hanya kepala, lalu tangan dan sejurus kemudian tubuhmu bergoyang mengikuti ritme yang dihasilkan dari round table itu. It was hot, Mel ! Kini, kalau kuputarkan lagu jazz apakah kau juga masih mau berdansa denganku ? Khayalanku mulai menjajah logika. Untung mulutku masih bersahabat dengan diam. Keadaan masih aman.

“Papaaaa.....................” Terdengar teriakan dari luar kamarku. Suara Egi, anakku membuyarkan khayalanku.
“Paa, ditunggyuin Mama di mobil tuh. Katanya mau makan malam di luar ? Ayo Paa, buruan..”

Kuhela nafas. Kurapikan bajuku, sekilas mataku kembali melirik cermin. Tersenyum pasrah pada Mela.

“Kita ketemu secepatnya, Mel..” lirihku.

Follow Me